Saturday, April 2, 2011

Stupidity..

Well, sebetulnya gue pengen posting ini dari kemaren-kemaren. Tapi baru sekarang gue punya cukup keberanian. Bukannya apa, salah sedikit, gue bisa berisiko dikeroyok massa. Gue bisa semaput babak belur.

Postingan ini pun sepertinya gak lebih dari hasil pemikiran otak gue yang mungkin masih APATIS. Tapi, bagaimanapun, ini pendapat gue, dan gue bebas mengemukakannya.

Yah, minggu ini gue balik kuliah, setelah seminggu vacum. Bukan, kampus lagi gak libur, tapi lagi diboikot, disegel. Dan bukan diboikot sama pemerintah gara-gara gak bayar PBB. Tapi diboikot sama mahasiswanya sendiri.Oh, mahasiswa memboikot kampusnya, sungguh sangat mencerminkan perilaku ababil. LOL.

Ini semua bermula seminggu yang lalu, saat mahasiswa jurusan ekonomi ngadain demonstrasi dengan tema yang sangat indah, "HAPUSKAN DPP SEKARANG JUGA". For your info, DPP itu semacam sejumlah uang yang disetor mahasiswa buat keperluan pembangunan sarana dan prasarana kampus. Padahal kan tujuannya bagus, lha kenapa harus di protes?? Gak lain gak bukan, karena para mahasiswa ini menganggap, fasilitas yang mereka dapatkan belum memadai. Mereka merasa, hak mereka belum terpenuhi.

Buat kami, para mahasiswa baru, ikutan demo adalah suatu agenda wajib. Bukan karena kami sepenuhnya sadar dan peduli, tapi lebih sering karena kami dipaksa buat ikutan. Seperti kali ini, kami dipaksa. Awalnya sih ogah ikut, tapi karena dipaksa oleh sejumlah senior dan melihat alasan demonstrasi yang cukup cerdas, gue pun ikut.

Gue, beserta seluruh massa pun menuju ke depan gedung rektorat, tempat sang rektor duduk dengan pongah di atas kursi empuknya. Di sana, ada satu orang yang mimpin orasi, nuntut pak rektor buat keluar gedung, menemui kami, dan mendengarkan kami menyatakan keluh kesah, dan menuntut hak kami.

"Hidup mahasiswa", sang orator berteriak, sambil tangan mengepal keatas.

Gue pun ikut berteriak dengan semangat juang 45,lebih mirip gembel lagi dikejar pamong praja.

Dia terus berorasi, menuntut hak sebagai mahasiswa.

"Kawan-kawan, kita harus menuntut apa yang seharusnya kita dapatkan, bla bla la.." kata dia dengan raut muka yang garang, tapi berwibawa.

Oke, gue setuju, gue manggut-manggut.

"Kawan, ayahanda rektor seharusnya lebih memperdulikan kita sebagai anak-anaknya, bla bla bla..", sekarang mukanya sudah berubah kayak gak boker seminggu.

Gue juga setuju, gue masih setia manggut-manggut.

"Kawan, kita datang kesini dengat niat yang baik, niat yang mulia.."

Well, sungguh indah omongan senior gue yang lagi orasi ini. Gue manggut-manggut lagi.

"Namun kawan, jikalau permintaan kita tidak digubris dan dipenuhi, maka tak adalah cara lain lagi, selain anarkis kawan-kawan.."

What?? Otak gue mulai protes. Kalo kayak gitu mah, kita sama aja kayak anak kecil, yang kalo udah capek merengek minta mainan, akhirnya ngamuk sambil lempar-lempar perabotan. Childist. Benar-benar mencerminkan perilaku ABABIL. Tapi saat itu, gue masih setia dengerin senior itu orasi. Gue masih mencoba menelan doktrinnya.

"Atau kawan, jikalau keinginan kita tetap tak dipenuhi, bagaimana kalau kita memboikot perkuliahan, sampe tuntutan kita dipenuhi?? Setuju??", sekarang dari mulutnya dah mulai keluar busa.

"SETUJUU....BOIKOT..BOIKOT..", massa pun bergemuruh.

Oke, ENOUGH. omongan mereka sudah mulai ngawur. Stupidity. Gue pun balik kanan meninggalkan kerumunan massa.Gue udah gak minat dengerin ocehan mereka lagi. Gak minat banget.

Sebetulnya waktu itu gue pengen angkat bicara, protes atas omongan si orator. Tapi menimbang suasana, dimana massa yang ada disitu punya wajah yang sangar-sangar. Gue pun akhirnya mengurungkan niat gue yang amat mulia itu. Gue takut dikeroyok, dibikin gule, trus dimakan rame-rame.

What the hell are they think about??. Mereka gembar-bembor menuntut hak, tapi mau memboikot perkuliahan, yang JELAS-JELAS juga merupakan hak mereka. Gue jadi pengen tau, apa sih sebenernya yang mereka anggap sebagai hak,??

Kalo gue jadi rektor, mungkin waktu itu gue bakalan ngakak guling-guling dengerin anceman macam itu. Rolling on the floor laughing out loud. Mereka gak nyadar apa?? kalo yang rugi dengan pemboikotan itu kan kita sendiri.Kalo mau ngancem, kenapa gak sekalian ngancem mau bakar rumahnya pak rektor, ato kalo gak, nyandera anak-istrinya sekalian. Biar gak nanggung. Toh dengan anceman macam itu, si pak rektor bisa ngemis-ngemis ke kita sambil nagis bombay, garuk-garuk tanah, begging for mercy. 

Lha kalo ancemannya pengen boikot perkuliahan, si pak rektor dan dosen-dosen lain, gak ada rugi-ruginya,satupun (ini menurut gue), mereka malah keenakan, mereka untung, karena gajinya tetep jalan dengan lancar, tanpa harus repot-repot ngasih kuliah.

Nah kalo gini, siapa yang nyandera, siapa yang jadi sandera??


Besok paginya, semua ruangan beneran diboikot, pintunya dikasih papan, trus dipaku. 

Benar-benar hebat.

Kami seperti gembel  yang megang pelatuk AK-47, tepat dikepala, yang ngancem bakalan bunuh diri kalo gak dikasih duit. 

Dan hari itu, pelatuk pun ditarik, DORRR..!!

Si gembel tewas, dan orang di sekitar cuma bisa ngeliatin, geleng-geleng kepala, sambil bilang,

"Dasar gembel, kasian.."



3 comments:

Dilla Tasyavani said...

tiba-tiba jadi kepikiran jangan-jangan besok aku pas kuliah dipaksa ikutan demo (juga), terus aku nolak, terus dikeroyok beneran. errrr :s

dhita said...

mahasiswa emang identik sama demo ya? hha
visit blog saya juga ya, btw.

Opi said...

dilla: saran terbaik gue : gak usah nolak, langsung kabur aja, hhe

dhita: mahasiswa identik sama demo ya?? ckckck, kasian banget mahasiswa, bukannya identik sama something yang "intelek", malah identik sama demo, hha